KEBIJAKAN
PUBLIK ERA KONTEMPORER
Kita
sering mendengar dan membaca di media massa tentang kebijakan publik yang tidak
berpihak kepada rakyat, kebijakan publik yang mengguntungkan sekelompok kecil
masyarakat, kebijakan publik yang tidak terarah, kebijakan publik yang tidak
transparan dan sebagainya.
Mungkin
para politisi dan pengamat politik fasih sekali di media massa mengatakan hal
tersebut, namun demikian kita, sebagai rakyat, kebanyakan tidak mengerti apa
sebenarnya kebijakan publik walaupun seringkali ikut latah mengatakannya.
Ø Konteks
Demokrasi
Di
era demokrasi dan otonomi daerah, kebijakan publik tidak lagi menjadi
kewenangan pemerintah namun menjadi produk legislasi yang dilahirkan dari oleh
dan untuk publik. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, menjadi penting
untuk memahami mengapa kebijakan publik harus disusun dengan tepat, siapa yang
mesti terlibat, dan kenapa harus dipelajari dengan benar.
Penyusunan
kebijakan publik dalam konteks demokrasi memang terkadang menimbulkan berbagai
tarik ulur antara kepentingan pemerintah, modal dan publik jika harus
melibtakan berbagai pihak dalam menformulasikannya. Belum lagi berbagai hal
yang menyangkut persinggungan antar urusan privat dan publik serta berbagai
konflik kepentingan yang terjadi.
Ø Konteks
Desentralisasi
sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan,
desentralisasi menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang
wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintahan yang sentralistik, atas dasar
itu kebijakan publik tidak akan efektif melalui model sentarlistik dan juga
dalam proses implementasinya
Pengertian
Kebijakan Publik
Chandler
& Plano (1982)
Kebijakan
publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk
memecahkan masalah publik atau pemerintah
Thomas
R Dye (1981)
Kebijakan
publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan
William
N Dunn (1994)
Kebijakan
publik adalah rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat
oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas
pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain
Chaizi
Nasucha (2004)
Kebijakan
publik adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang
digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan
perumusan kebijakan agar tercipta hubungan sosial yang harmonis
Dari
beberapa definisi kebijakan publik di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan
publik merupakan:
- Keputusan atau aksi bersama yang dibuat oleh pemilik wewenang (pemerintah);
- Orientasi pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik buruknya dampak yang ditimbulkan;
- Untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
I.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja sifat dari Kebijakan Publik dan
bagaimana contohnya ?
2. Bagaimana
fungsi dan manfaat dari pelayanan public ?
3. Bagaimana
pengaruh budaya birokrasi terhadap pelayanan public ?
2.1 Sifat kebijakan public
q Tuntutan-tuntutan
kebijakan (policy demand) adalah tuntutan yang dibuat oleh warga masyarakat
secara pribadi atau
kelompok dengan resmi,
ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah
dalam suatu sistem
politik
Contohnya
: Maraknya aksi unjuk rasa yang
dilaksanakan masyarakat/mahasiswa dalam rangka menyampaikan
pendapat,melaksanakan tuntutan,hingga meminta tanggung jawab pemerintah dalam
pelaksanaan proses kebijakan public.
q Keputusan kebijakan
(policy decision) didefinisikan
sebagai keputusan-keputusan yang
dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arahan
substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan
public
Contohnya
: Output Kebijakan Publik berupa
peraturan daerah yang telah disahkan pemerintah melalui perwakilan rakyat dalam
rangka implementasi kebijakan public.
q Pernyataan-pernyataan kebijakan
(policy statement) adalah
pernyataan resmi atau
artikulasi-artikulasi kebijakan publik yang telah ditetapkan
Contohnya
: Sosialisasi mengenai Kebijakan yang telah dibuat
q Hasil-hasil kebijakan
(policy output) merupakan
manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik, yaitu hal-hal
yang sebenarnya dilakukan menurut
keputusan dan pernyataan kebijakan
Contohnya
: Tingkat kepuasan masyarakat terhadap manfaat yang diperoleh dari sebuah
kebijakan yang telah dibuat
q Dampak-dampak kebijakan
(policy outcome) lebih
merujuk pada akibatnya
pada masyarakat, baik
yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan
yang berasal dari tindakan
maupun tidak adanya
tindakan pemerintah.
Contohnya
: hasil dari sebuah kebijakan di
masyarakat dan efeknya bagi kualitas kebijakan yang telah dibuat.
1.2 Fungsi dan Manfaat Pelayanan Publik
Fungsi :
Ø Mewujudkan
batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
Ø Mewujudkan
sistem penyelenggaraan pelayanan publik
yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
Ø Mewujudkan
perlindungan dan kepastian hokum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan public.
Manfaat :
Ø Terpenuhinya
Kebutuhan masyarakat
Ø terpenuhinya
penyelenggaraan pelayanan public sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Ø Terbangunnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
Ø Terwujudnya
keseimbangan antara hak dan kewajiban
Ø Mempercepat,mempermudah
dan manjangkau seluruh kebutuhan masyarakat.
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ? Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan ( Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik. Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis). Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami !. Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.
-
Efektivitas Pelayanan
Publik
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan
bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara
efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang
terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan
kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi
dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu
dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan
(capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki
keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
- Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik
Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan
Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau
secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal:
masalah tempat, jarak
dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus
dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang
dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi
masyarakat
dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus
dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang
dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi
masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata
cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi
pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan
kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan
adanya langkahlangkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan
sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem
pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan
kerja dalam pelayanan publik; Ketiga : Meningkatkan keterlibatan masyarakat ,
baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan
publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik;
Keempat : Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi
pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post
weberian);Kelima : Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan
publik; Keenam: Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi
landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian
terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat
memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya
faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan:
Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh : Adanya saling
pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat
birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk
mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam
pelayanan publik.
II.
Kesimpulan
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut. Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan dibidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut. Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).
III.
DAFTAR BACAAN :
Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton University Press.
Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan
Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton University Press.
Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Kalian ????